Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil boleh dibilang adalah impian sebagian besar rakyat Indonesia berusia produktif. Setiap tahun seleksi penerimaan CPNS di gelar dan peminatnya tetap membludak.
Persaingan pun kian ketat tiap tahunnya.
Untuk tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyediakan 300 kuota CPNS khusus untuk penyandang disabilitas.
Setelah membaca
pengumumannya di salah satu sosial media 4 November 2014 lalu. Saya pun mengunduh persyaratan dan formasinya. Setelah membacanya Insya Allah bisalah memenuhi persyaratan yang diminta.
Ini bukan kali pertama saya mendaftarkan diri dalam seleksi CPNS di Kementerian Sosial. Tepatnya pada tahun 2007 dan 2010 saya mencoba mendaftar tapi sayang selalu gagal di seleksi administrasi.
Di tahun ini saya ingin mencoba peruntungan, siapa tahu hoki :)
Saya pun melakukan pendaftaran online di portal CASN. Alhamdulillah berjalan lancar. Setelah mendapatkan nomor registrasi dan formulir pendaftaran, saya pun melengkapi berkas-berkas yang harus dilampirkan.
Saya ke kampus untuk legalisir ijazah, transkrip nilai, dan surat akreditasi jurusan. Kemudian ke studio photo untuk photo terbaru berlatar biru, dan melengkapi berkas lainnya sebagai persyaratan.
Setelah hampir semuanya lengkap, masih ada satu berkas yang kurang. Poin 10 "Surat Keterangan dari dokter yang menyatakan jenis disabilitas (1 rangkap guna mempermudah identifikasi, penyiapan lokasi ujian dan aksesibilitas yang mendukung".
Surat keterangan inilah yang amat sangat sulit untuk didapatkan. Berikut pengalaman saya :
Pertama, saya pergi ke dokter praktek umum tempat saya biasa memeriksakan diri ketika kurang sehat. Tapi sayang dokter tersebut mengatakan tidak bisa membuat "Surat Keterangan Jenis Disabilitas". Saya disarankan untuk ke rumah sakit umum milik pemerintah.
Besok paginya, saya mencoba ke dokter Puskesmas. Siapa tahu dokter Puskesmas bisa memberikan Surat Keterangan tersebut. Setelah sekian lama antri ujung-ujungnya dokter Puskesmas juga menolak dan menyarankan hal yang sama seperti dokter pertama tadi.
Saya berusaha mengingat-ingat siapa teman yang bekerja di rumah sakit yang bisa membantu untuk mempermudah mendapatkan Surat Keterangan Jenis Disabilitas.
Saya pun menelpon teman kuliah yang bekerja di Rumah Sakit Pelamonia. Setelah berbincang lama dan menjelaskan segalanya Alhamdulillah dia mau membantu saya.
Hari berikutnya saya ke rumah sakit Pelamonia. Kami ke ruang dokter orthopedi. Sayang pagi itu dokternya tak ada di tempat. Katanya lagi ke luar kota. Pada saat itu hari jumat, mantri yang ada di ruangan itu meminta agar saya datang hari senin.
Senin pagi sebelum berangkat ke rumah sakit Pelamonia, Saya menghubungi teman saya apakah dokter orthopedi sudah ada di tempat atau belum. Setelah beberapa menit menunggu jawaban, teman saya BBM katanya dokter Orthopedi juga tidak bisa memberikan Surat Keterangan Jenis Disabilitas.
Oh... my God...
Mengapa begitu sulit mendapatkan Surat Keterangan Jenis Disabilitas???
Saya sudah mulai menyerah, saya tidak mungkin terlalu banyak izin di kantor.
Setelah menghubungi beberapa teman, mereka menyarankan untuk ke rumah sakit Pemerintah seperti Rumah Sakit Labuang Baji dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.
Selasa pagi saya memilih ke rumah sakit Labuang Baji karena cukup gampang diakses dengan transporatasi umum.
Setelah sekian lama antri di loket untuk registrasi, saya pun mendapatkan kartu registrasi dengan biaya administrasi sebesar Rp. 35.000,-
Pegawai loket memberikan petunjuk agar saya ke bagian Medical Check Up di lantai 2.
Sampai di ruang Medical Check Up hanya ada seorang pegawai di sana.
"Dokternya belum datang. tunggu ma ki sampai jam 9". Kata pegawai tersebut.
Astagfirullah, inilah yang saya takutkan pengurusannya lama dan berbelit-belit sehingga saya harus izin lagi di kantor.
Setelah duduk menunggu di koridor rumah sakit selama setengah jam, pukul 9.00 sang dokter belum datang juga. Saya menunggu setengah jam lagi, dokternya baru datang jam setengah sepuluh lewat.
Setelah di tanya tujuan pengurusan, saya pun menjelaskan dan memperlihatkan Poin 10 yang saya sebutkan diatas.
Beliau pun memeriksa fisik saya yang mengalami disabilitas, dan memberikan rujukan untuk pergi ke beberapa poli antara lain poli THT, poli syaraf, dan poli Orthopedi.
What!!!!
Ribet amat ya?
Pertama, saya ke poli THT di lantai 2. Sesampainya di poli THT, suster yang ada di poli tersebut menyarankan saya ke poli sesuai urutannya. Urutan Pertama adalah poli Orthopedi, kedua poli THT, ketiga poli syaraf.
Saya pun turun ke lantai 1 tempat poli Orthopedi. Suster yang ada di sana komplain karena saya hanya membawa surat pengantar dari dokter dan kartu registrasi tanpa menyertakan map. Saya di suruh ke loket untuk meminta map.
Setelah mendapatkan map saya ke poli Orthopedi lagi. Susternya menyarankan lagi agar saya ke poli THT dulu karena dokter lagi sibuk.
"Sus, tadi saya ke poli THT, tapi saya di suruh ke sini dulu". Saya mulai kesal karena merasa di ping pong sana sini.
"Ke THT ma ki dulu. Daripada lama ki menunggu disini". Saran susternya.
Saya pun naik ke lantai 2 lagi tempat poli THT berada.
Syukurnya saya tidak di ping pong lagi.
Sebelum tes pendengaran. Dokter THT memeriksa telinga saya.
Setelah di senter ternyata ada kotoran telinga yang membeku (padahal saya rajin loh bersihkan telinga).
"Loh kok di korek?!?" kataku dalam hati. Saya berteriak kecil karena tak dapat menahan sakit.
"Saya beri resep obat tetes ya, tetes dulu telinganya nanti hari jumat balik lagi ke sini dan dibersihkan kembali". Kata bu dokter.
Ini bukan kali pertamanya saya ke dokter THT. Kok cara penanganannya untuk membersihkan telinganya beda ya. Di dokter praktek THT tempat saya biasa memeriksakan diri, beliau membersihkan kotoran telinga yang membeku dengan menyemprot air dan menggunakan alat pengisap prosesnya hanya beberapa menit. Pendengaran langsung jernih setelah dibersihkan.
Dan saya di suruh balik lagi ke sini hari jumat, itu artinya tanggal 21 november 2014. Terakhir pengiriman berkas tanggal 23 november 2014 cap pos. Sudah sangat mepet waktunya.
Di Poli THT saya dikenakan biaya Rp. 50.000,- untuk pemeriksaan tadi.
Setelah itu saya ke lantai 1 lagi ke poli Orthopedi. Dokter masih sibuk. Saya disarankan ke poli syaraf dulu. Sebelum masuk ke ruang poli syaraf ada suster yang berjaga di depan. Dia memeriksa untuk tensi tekanan darah. Alhamdulillah normal.
Ruangan poli syaraf sangat ramai. Bukan ramai karena pasien, tapi ramai dipadati dokter-dokter muda. Pemeriksaannya bagi saya cukup mudah dan tes sederhana saja. Tidak memakai peralatan canggih. Memeriksa bola mata, motorik tangan (dengan menulis dan melengkapi gambar ataupun titik-titik), daya ingat, berhitung, dan lain-lain. Alhamdulillah hasilnya normal saya tidak mengalami gangguan syaraf.
"Bisa ja ki menulis di'" kata dokternya ketika saya mulai memegang pena saat mengisi soal tes
"Dok, dua tangan saya ini memang kelihatan tidak normal. Tapi saya bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah, menulis, dan mengetik". Terang saya.
Dan membuat saya amat sangat kaget. Biaya untuk semua pemeriksaan dan tes sederhana tersebut sebesar Rp. 302.000,-
What!!! uang yang saya bawa tidak cukup. Saya pun menelpon ibu saya agar bisa datang ke rumah sakit dan memberi uang tambahan.
Saya pun kembali ke poli Orthopedi. Kali ini dokter sudah tidak ada di tempat. Kata susternya lagi ada operasi. Saya disuruh kembali lagi besok. OMG... besok lagi.
Saya pun bertanya kepada suster tersebut berapa biasanya biaya yang harus dibayar untuk pemeriksaan orthopedi, agar besok saya bisa menyiapkan dananya. Katanya kalau orthopedi jika ada pemeriksaan menggunakan foto rontgen biayanya Rp. 200.000 per sekali foto. What!!!!
Malam harinya saya ke dokter THT untuk membersihkan telinga. Kalau pake obat tetes dan harus menunggu sampai hari jumat, terlalu mepet waktunya. Bisa-bisa berkas saya sudah tidak bisa di kirim.
Hari kedua pengurusannya. Saya ke poli THT lagi, tapi dokternya belum datang, saya di sarankan ke poli Orthopedi dulu . Saya pun turun ke lantai 1 dokter Orthopedi juga belum datang. Suster menyarankan agar saya menunggu di poli THT. Astagfirullah...
Ambil positifnya saja bisa olah raga pagi naik turun tangga.
Saya ke poli THT lagi.
"Tunggu ki sebentar, dokter belum datang karena mau diperiksa telinga ta". Kata susternya.
"Telinga saya sudah bersih sus, semalam saya ke dokter THT untuk membersihkan. Kalau saya pake obat tetes terlalu lama menunggu hingga hari jumat". Jelas saya.
"Oh... kalau bersih mi telinga ta bisa mi di tes pendengaran ki. Kalau dokter untuk tes pendengaran sudah datang".
Setelah di tes saya diberi surat keterangan yang harus ditandatangani oleh dokter yang belum datang. Dan suster tidak tahu dokter datang jam berapa. Jadi map saya harus di simpan dulu. Benar-benar menguji kesabaran ya.
"Atau begini sus, bisa saya bawa map ku dulu, karena saya mau ke Orthopedi. Nanti kalau selesai pemeriksaan orthopedi saya bawa kembalikan ke THT". Jelasku dan suster menyetujui.
Sesampai di poli Orthopedi, dokternya belum juga datang.
"Jam berapa datang dokternya sus?, masalahnya saya tidak bisa terlalu banyak izin di kantor. Rekan kerjaku lagi cuti."
"Tunggu sampai jam 10" kata susternya.
"Bagaimana ya sus, saya masuk kantor pukul 9.00. Sebentar lagi jam 9.00" kataku mengiba
"Dok, tidak bisakah kita yang periksa ki". Kata suster tersebut pada seorang dokter laki-laki di sudut ruangan.
Alhamdulillah dokter tersebut mengiyakan. Setelah sekitar 10 menit memeriksa tangan dan kaki saya. Saya pun di minta ke loket untuk biaya pemeriksaan sebesar Rp. 50.000,-. Alhamdulillah biayanya tidak sebesar yang saya pikirkan.
Hari ketiga, saya meminta tolong ibu saya agar bisa menguruskan. Saya pikir kan sudah diperiksa semuanya, tinggal ambil berkas yang ditandatangani dokter THT dan surat keterangan jenis disabilitas.
Saya tidak bisa izin lagi, karena rekan kerja saya di kantor lagi cuti. Otomatis pekerjaannya numpuk ke saya.
Jam 12 ibu saya menelpon.
"Tidak bisa nu, kamu harus datang ke rumah sakit karena dokter (dokter di bagian medical check up) harus lihat kamu" kata ibu saya
"Loh... bukannya kemarin dulu dokter sudah melihat saya secara langsung".
"Tidak bisa, katanya kamu harus datang. Kalau tidak dia tidak mau memberikan surat keterangan. Minta izin saja"
Untungnya jam makan siang, saya izin ke atasan bahwa saya mau makan siang di luar (biasanya makan siang di kantor saja karena bawa bekal).
Sampai di ruang medical check up ternyata dokternya lagi makan siang. Jadi saya harus menunggu dokter tersebut selesai makan. Pegawai di ruangan tersebut berkata kepada saya "kenapa tidak dari kemarin-kemarin ki urus biar tidak mepet seperti ini".
"Astagfirullah... saya sudah dua minggu ini mengurus surat keterangan disabilitas mulai dari dokter praktek, puskesmas, rumah sakit lain tapi tidak ada yang mau"
Setelah diperiksa oleh dokter. Pegawai tersebut membuatkan saya Surat Keterangan Disabilitas.
Alhamdulillah, untuk mendapatkan selembar kertas ini butuh perjuangan dan pengorbanan baik dari segi materi, tenaga, dan perasaan.
Apa yang saya ceritakan pada tulisan ini bukan bertujuan untuk merusak nama baik sebuah instansi. Bukan... bukan.... itu maksud saya. Saya hanya berbagi pengalaman dan bertutur apa adanya sesuai yang saya alami.
Saya berharap kedepannya untuk pengurusan Surat Keterangan Jenis Disabilitas lebih dipermudah lagi. Jika prosedurnya memang seperti itu, mungkin perlu dikaji ulang lagi. Agar pelaksanaan prosedur tersebut lebih efektif dan efisien. Jika selama ini pengurusannya memerlukan waktu beberapa hari, kedepannya bisa menjadi sehari saja
Jika dibaca baik-baik poin 10 :
"Surat Keterangan dari dokter yang menyatakan jenis disabilitas (1 rangkap guna mempermudah identifikasi, penyiapan lokasi ujian dan aksesibilitas yang mendukung".
Dokter cukup memberikan keterangan apakah pasien tersebut mengalami disabilitas apa?
Apakah tuna daksa? tuna netra? Tuna Rungu? Tuna Wicara? Tuna Grahita? dan lain-lain
Dokter cukup melihat apakah pasien tersebut menggunakan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, protese, cruck, dan sebagainya sehingga panitia ujian bisa menyiapkan aksesibilitas yang mendukung berjalannya ujian dengan lancar.
Belum harus diperiksa secara menyeluruh. Nanti jika lulus tahap selanjutnya dan membutuhkan General check up baru deh berkelana dari poli ke poli.
Mungkin hal ini kurang di pahami oleh paramedis. Setelah berbincang dengan ketua HWDI Sulawesi Selatan via SMS. Memang perlu adanya advokasi sehingga kedepannya pengurusan Surat Keterangan Jenis Disabilitas lebih dipermudah.
Cukup saya saja yang mengalaminya. Jangan sampai ada teman-teman lain yang mengalami hal serupa.
Makassar, 3 Desember 2014
Selamat Hari Disabilitas Internasional