Alhamdulillah dapat kesempatan nonton film Athirah bareng Komunitas KOPI dan MPPro pada hari Jumat, 30 September 2016. Sebenarnya saya ga ngeh film Athirah akan tayang akhir September ini (hehe... kudet banget ya), pas baca tweet-nya mbak Laras di Twitter tentang nonton bareng (nobar) film Athirah di XXI Metropole Cikini, langsung saya reply "Mau dong mbak ikutan nobar". Lalu mbak Larasnya tweet balik biar bisa ikutan saya harus gabung di KOPI dulu.
Oke baiklah... saya langsung ingat sama mbak Kiki Handriyani, beberapa waktu lalu mbak Kiki memang sudah mau mengajak gabung ke grup KOPI tapi karena mbak Kikinya sibuk dan saya juga sibuk akhirnya chat kami di FB jadi mengambang dan terlupakan hehee. Akhirnya saya coba lagi colek mbak Kiki di FB dan chat saya di balas, singkat cerita saya akhirnya gabung di KOPI dan dapat 1 kuota nonton bareng film Athirah. Asyikk!!!!
Pasti kalian pikir KOPI itu adalah komunitas bagi pecinta kopi :D hehehe... dirimu salah guys...
KOPI adalah singkatan dari Koalisi Online Pesona Indonesia adalah sebuah wadah bagi jurnalis dan blogger untuk bisa bersinergi dalam menyampaikan informasi positif kepada masyarakat mengenai pesona Indonesia terutama dalam hal pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion, dan kuliner Indonesia.
Oke... kembali ke laptop...
Review
Judul Film : Athirah
Pemain : Cut Mini, Christoffer Nelwan, Jajang C Noer, Indah Permatasari, Arman Dewarti
Sutradara : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana
Penulis : Salman Aristo dan Riri Riza
Produksi : Miles Films
Film Athirah adalah film biopik yang diangkat dari novel karya Alberthiene Endah. Film berlatar budaya Bugis Makassar yang memikat ini disutradarai oleh Riri Riza dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Siapa yang tak kenal duo sineas tanah air ini, karya-karya berkualitas mereka seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Ada Apa Dengan Cinta, dan beberapa film lainnya selalu menarik untuk ditonton.
Drama keluarga ini berkisah tentang kehidupan nyata mendiang Ibunda Jusuf Kalla bernama Athirah (Cut Mini). Pada tahun 50-an karena situasi keamanan di Bone yang kurang kondusif akibat pemberontakan, keluarga Kalla pun akhirnya hijrah ke
Makassar. Mulailah Haji Kalla (Arman Dewarti) kembali membangun usaha. Usaha beliau pun sukses dan berhasil menjadi pegusaha paling disegani di Makassar. Ketika harta dan kedudukan dimiliki oleh seorang lelaki, godaan akan perempuan pun sulit untuk dielakkan bagi kaum lelaki. Kehidupan Athirah dan keluarganya yang bahagia dan harmonis mulai terusik dengan kehadiran perempuan lain dalam hidup suaminya disaat dia sedang hamil anak ke-4.
Athirah pun terpaksa bersabar dan bertahan meskipun ada perempuan lain dalam kehidupan rumah tangganya, demi keutuhan keluarganya. Athirah berusaha melewati semua masa-masa sulit itu dengan penuh ketegaran, bersikap dan berpikir positif meskipun hatinya terluka. Untuk mengobati kesedihannya Athirah pun mulai berdagang kain tenun sutra khas Sengkang, usahanya mengalami kemajuan. Pada tahun 60-an terjadi hiperinflasi di Indonesia, ekonomi menurun, pengusaha banyak yang bangkrut termasuk usaha Haji Kalla. Ketika masa sulit itu terjadi Athirah tetap berbesar hati untuk membantu suaminya yang terlilit utang.
Sementara itu, anak lelaki tertuanya Ucu - Jusuf Kalla (Christoffer Nelwan) sedang melewati masa remajanya dalam kegalauan dia tidak tahu harus berpihak kepada siapa, ibunya yang sabar dan baik hati ataukah bapaknya yang selalu menjadi sosok yang ia kagumi. Di saat dia mencoba memahami situasi keluarganya, Ucu jatuh cinta pada Ida (Indah Permatasari). Tapi usahanya mendekati Ida mengalami banyak rintangan dan penolakan.
Kalian penasaran kan???
Segera ke bioskop gih... mulai tayang 29 September 2016
------------------------------
Pendapat Pribadi
Setelah film
Uang Panai yang rilis agustus lalu, Athirah adalah film kedua yang rilis di tahun 2016 yang mengangkat budaya Bugis-Makassar. Saya sebagai perempuan berdarah Bugis yang lahir dan dibesarkan di kota Makassar sangat bangga dan mengapresiasi film ini.
Dari awal film yang dibuka dengan seremonial pernikahan adat Bugis dengan soundtrack lagu Bugis membuat hati saya bergetar dan sampai akhir memang film ini meyuguhkan budaya Bugis Makassar yang sangat kental. Bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa dan logat Bugis yang khas, untuk dialog tertentu ada subtitle-nya. Sebelum menonton film ini saya penasaran bagaimana Cut Mini dan artis lainnya yang berasal dari Jakarta mampu berdialog menggunakan logat Bugis yang khas dengan intonasi yang tepat? Dan saya salut dengan usaha mereka menurut saya nyaris sempurna.
Menonton film ini saya seakan ditarik ke masa lalu. Mengingatkan saya akan almarhum nenek (Petta Bae), dalam film itu, Athirah dalam kesehariannya memakai pakaian khas perempuan Bugis zaman dulu dengan atasan kebaya sederhana dan bawahan kain sarung atau kain lipa'. Rambut di sanggul sederhana atau di konde, dan jika keluar rumah memakai selendang panjang menutupi sebagian rambut. Nenek saya style-nya juga seperti itu.
Diawal film juga sedikit diceritakan tentang situasi pemberontakan yang terjadi di Bone tahun 50-an. Yups... saya kembali lagi teringat masa lalu, teringat cerita Nenek saya tentang masa-masa suram pemberontakan. Kala itu nenek dan anak-anaknya masih tinggal di Bone, karena situasi yang kurang kondusif akhirnya nenek dan keluarga hijrah ke Makassar.
Di film tersebut juga banyak adegan di meja makan. Saat makan adalah waktu santai untuk berkumpul dan bercengkrama dengan seluruh anggota keluarga sambil menyantap hidangan. Yang khas dari budaya orang bugis, sosok Bapak sebagai kepala keluarga sangat disegani dan dihormati termasuk di meja makan. Untuk Bapak, piring dan gelasnya dibedakan dengan anggota keluarga lainnya, piring dan gelas punya Bapak lebih bagus dan ukurannya lebih besar. Disimpan khusus dan tidak boleh ada yang memakainya. Di film Athirah juga menggambarkan hal yang sama.
Saya kembali teringat ke masa lalu, sejak kecil saya diajarkan menata piring, gelas, dan hidangan di meja makan. Piring dan gelas punya Kakek (Puang Nenek) dan Bapak saya (Puang Jeppu) jelas berbeda dengan kami.
Masih adegan di meja makan, menonton film Athirah membuat saya lapar dan kangen berat sama masakan rumahan dan kue-kue khas Bugis-Makassar. Di film itu ada ikan pallumara, sayur santan, ikan bakar, lombok cobek-cobek, ikan parape', dan kue barongko. Awwiii.... ma cinna ka (aduh bikin ngiler)
Hal lain yang ditonjolkan di film ini adalah kain tenun sutera khas Sengkang. Motifnya yang khas dan warna-warnanya yang menarik membuat kain ini menjadi primadona bagi yang ingin membawa
buah tangan khas Sulawesi Selatan.
Ma' tennung atau Menenun adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh perempuan Bugis zaman dulu, tak terkecuali nenek saya. Lagi-lagi ingat masa lalu, nenek selalu bercerita dulu dia sering menenun, hasil kain tenunnya kemudian di jual untuk membantu ekonomi keluarga. Dan kain tenun memang menjadi salah satu hantaran atau hadiah pernikahan dari mempelai pria (itu juga digambarkan dalam film ini).
Cara menjemur kain tenun di film ini dengan menggunakan kedua bilah bambu di bagian atas dan bawah sarung, juga mengingatkan saya akan rumah. Di rumah selalu ada dua bilah bambu panjang yang digunakan untuk menjemur kain sarung/kain tenun agar jika kering hasilnya rapi (so... tidak perlu di setrika lagi guys).
Oh iya, kain tenun sutra khas Sengkang yang dipakai di film ini ternyata kain hasil karya Aminah Silk - usaha sutera kak Ida Sulawati (Pengusaha, blogger, dan penulis asal Sengkang dan merupakan anggota komunitas IIDN Makassar)... Asyikk kak Ida makin eksis nih ^^ *ikut bangga.
Selain kain tenun, ada juga Songkok To Bone (songkok orang bone) atau biasa juga disebut Songkok Recca'. Zaman dulu songkok ini hanya dikenakan oleh raja dan keturunan raja. Di dalam film ini ada adegan Emmak Athirah memakaikan songkok ini ke kepala Ucu sambil mengucapkan harapan dan doanya kepada Ucu "Coba ini dulu, gagah ko, nanti ko jadi orang besar, jadi Gubernur". Yups... doa yang tulus dari seorang Ibu akan selalu diijabah dan memang terijabah bahkan lebih dari yang diharapkan.
Setting film ini menggambarkan kota Makassar di masa lalu. Terus terang selama nonton film tersebut saya bertanya-tanya ini syutingnya di jalan apa ya? masih adakah rumah dan ruko-ruko seperti itu di Makassar? Syuting di pantai Losari zaman dulu dimana ya (karena saat ini Pantai losari sudah berubah 360 derajat dibanding dulu)? ternyata eh ternyata setelah nonton behind the scene-nya di Youtube, setting kota Makassar di masa lalu dilakukan di Sengkang dan untuk Pantai Losari syutingnya di Pare-pare.
Film-film karya Riri Riza dan Mira Lesmana selain mengangkat budaya dan kearifan lokal juga menonjolkan keindahan alam tak terkecuali film Athirah. Keindahan
Air Terjun Bantimurung terlihat mempesona dalam film ini begitu pula pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan menuju Bone. Perjalanan Makassar-Bone kurang lebih 4 jam dan saya jamin kalian tidak akan bosan selama perjalanan karena indahnya pemandangan yang disuguhkan oleh alam Sulawesi Selatan. Gugusan gunung-gunung batu di daerah Maros sangat tergambar di film ini.
Rasanya semakin rindu untuk mudik ke Bone dan Makassar setelah menonton film ini.
Beberapa pesan moral yang bisa diambil dalam film ini :
- Tak ada perempuan yang ingin di madu, begitu pun dengan Athirah. Meskipun hatinya sedih dan terluka dia bisa mengatur emosinya. Athirah tahu kapan harus diam dan kapan harus bertindak
- Di film atau sinetron, perempuan yang dimadu biasanya akan bertengkar dengan suaminya, berteriak dan mencaci maki. Tapi di film ini tidak begitu, tak harus banyak bicara untuk melampiaskan kemarahan apalagi berteriak-teriak. Cukup dengan sikap dingin bisa menunjukkan bahwa kita sedang marah dan tidak setuju dengan keadaan yang terjadi
- Nyaris tak ada adegan pertengkaran yang frontal antara Athirah dan Haji Kalla meskipun masalah melanda rumah tangga mereka dan anak-anaknya tak tahu banyak apa yang terjadi dengan kedua orang tua mereka. Mengingatkan saya akan orang tua saya. Saya sejak kecil sampai Bapak almarhum saya nyaris tak pernah melihat dan mendengar orang tua saya bertengkar. Ibu saya pernah menasehati "jika kelak kau bersuami dan punya anak jangan pernah memperlihatkan dan memperdengarkan pertengkaran kalian di depan anak-anak karena hal itu akan mempengaruhi kondisi psikologis seorang anak"
- Sedih boleh, tapi jangan larut dalam kesedihan. Pesan itu yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Untuk mengobati kesedihannya Athirah mencoba menyibukkan diri dengan berdagang
- Investasi terbaik adalah emas. Dari hasil berdagang Athirah membeli emas sebagai tabungan. Karena emas tidak akan terlalu berpengaruh jika terjadi inflasi. Jika menabung uang dan terjadi inflasi maka uang yang kita tabung tersebut tak akan ada artinya lagi. Kalau emas nilainya stabil.
- Sikap sabar, lembut, dan pemaaf ditunjukkan Athirah ketika sang suami mengalami kebangkrutan. Secara ikhlas dia memberikan seluruh tabungan emasnya untuk suami tercinta
- Ucu, meskipun prahara rumah tangga menyapa orang tuanya, dia mampu mengambil sikap sebagai anak yang patuh. Dia tentu marah terhadap Bapaknya yang menikah lagi, tapi dia tetap hormat dan membantu menjalankan usaha Bapaknya. Begitupun ketika Bapaknya sudah jarang berada di rumah, dia bisa menjadi sosok pelindung bagi Ibu dan saudara-saudaranya.
Kini nama Athirah diabadikan pada nama sekolah milik "Yayasan Kalla". Sesuai impian Ibu Athirah yang ingin membuka sekolah agar bisa mendidik anak-anak bangsa ini. Sekarang di Makassar siapa yang tidak kenal dengan Sekolah bertaraf internasional "Athirah" mulai dari tingkat TK hingga SMA.
Film ini wajib ditonton bersama keluarga karena sarat akan makna, pesan, budaya, dan adat istiadat. Sekedar info, film Athirah juga diikutkan pada 3 festival film internasional yaitu : Vancouver Internasional Film Festival, Busan Film Festival dan Tokyo Internasional Film Festival... wuihh... keren ya!
Sekian review saya, kalau kepanjangan mohon maaf.
Semoga bermanfaat