“Apa kepanjangan MPR?” Seorang konten
kreator bertanya kepada beberapa orang siswa. “Eee… Majelis, MPR ya? Majelis
Permusyawaratan Republik” jawab siswa laki-laki. Hal yang sama juga ditanyakan
kepada siswa lainnya. “MPR… MPR… Masa… Peroleh… nggak tahu” jawabnya. Masih
salah, pertanyaan yang sama ditanyakan ke siswa perempuan. “Allahu Akbar, MPR
apa ya, lupa”. Beberapa siswa lainnya juga ditanya hal yang sama tapi banyak
yang jawab “nggak tahu”. Sampai durasi video berakhir tidak ada yang bisa
menjawab pertanyaan gampang tersebut dengan benar dan tepat.
Ada lagi video yang viral, ketika
sekumpulan anak SMA ditanya tentang negara-negara di Eropa, dan salah satu dari
mereka menjawab “Garut”, ada yang jawab “Indonesia”, “Amerika”, “Brazil”. Ketika jenis konten video Tiktok tersebut lewat di FYP, bagaimana reaksi teman-teman? Saya rasa itu bukan hal yang lucu untuk ditertawakan. Kalau saya
sih merasa sedih melihat pengetahuan dangkal adik-adik itu. Miris! Level SMP
dan SMA mereka tidak bisa menjawab pengetahuan umum level SD! Berbagai
pertanyaan berkecamuk dibenak saya. Apa yang dipelajari adik-adik itu di sekolahnya? Apakah
mereka jarang membaca atau malah membaca pun belum lancar? Apa mereka fokus
memperhatikan ketika guru mengajar di depan kelas? Atau pikiran mereka melayang-layang
memikirkan pacarnya di kelas sebelah, idol K-Pop, atau gimana caranya bisa push
rank? Bagaimana sistem pendidikan di
Indonesia saat ini? Bagaimana kualitas guru di Indonesia? Bagaimana nasib
generasi emas Indonesia jika SDM-nya masih seperti ini? dan berbagai
pikiran-pikiran lainnya.
Mari bernostalgia sejenak! Kembali ke 30 tahun lalu, tahun 90-an, internet belum semasif saat ini. Komputer dan internet hanya untuk kalangan-kalangan tertentu "Kalangan Mampu Banget". Untuk mendapatkan informasi lengkap pengetahuan umum ada namanya buku pintar, buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), buat lihat peta Indonesia dan dunia ada namanya buku Atlas. Guru IPS saya waktu SD dulu sering memberikan tugas untuk menggambar peta Indonesia. Secara tidak langsung anak murid jadi tahu pulau-pulau, provinsi dan kota besar yang ada di Indonesia tanpa harus menghafalnya. Waktu masih kanak-kanak ada permainan edukatif, namanya Pancasila Lima Dasar, para generasi milenial yang seumuran denganku pasti tahu permainan ini. Permainan ini biasanya dimainkan lebih dari dua orang, jari tangan dihitung sesuai abjad lalu menanyakan pertanyaan umum seperti nama buah atau hewan dengan huruf awalan "J", nama negara yang huruf awalannya "B", dan berbagai pertanyaan lainnya. Permainan seru ini mengasah pengetahuan umum kami di masa itu.
Jika dibandingkan dengan masa lalu, era digitalisasi saat ini memberikan banyak kemudahan dalam mengakses ilmu pengetahuan, apalagi Generasi Z dan Alpha yang Tech Savvy, sejak mereka lahir sudah kenal dan terpapar dengan gadget. Tetapi mengapa anak-anak zaman now pengetahuan umumnya cetek? Itu belum ditanya soal matematika loh!
Rendahnya Minat Baca di Indonesia
Pertanyaannya adalah "seberapa ingin mereka mengetahui?" Curiosity! Rasa ingin tahu akan mengundang minat membaca. Sayangnya menurut data UNESCO, Indonesia berada di uratan kedua terbawah soal literasi artinya minat baca masyarakat kita masih sangat rendah yaitu 0,001% dimana diantara 1.000 orang Indonesia cuma 1 orang yang rajin membaca.
Data lainnya yang menunjukkan rendahnya literasi di Indonesia dapat dilihat dari skor Programme for International Student Assessment (PISA), PISA adalah sebuah program asesmen berskala internasional yang menguji dan mengukur tingkat pengetahuan, keterampilan, kesejahteraan, dan kesetaraan pada siswa usia 15 tahun. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Skor PISA Indonesia pada subjek kemampuan membaca adalah 359, skor ini sebenarnya masih terpaut jauh 117 poin dari skor rata-rata global 476, untuk subjek kemampuan matematika skornya 366 (skor global 472), dan subjek kemampuan sains skornya 383 (skor global 485). Posisi Indonesia berada di peringkat ke-66 dari 1 negara yang mengikuti PISA 2022.
Berdasarkan hasil kajian dari Lilik Tahmiden dan Wawan Krismantor tentang Permasalahan Budaya Membaca Indonesia (Studi Pustaka tentang Problematika dan Solusinya), salah satu faktor pendorong rendahnya kemampuan dan budaya baca siswa di Indonesia adalah belum maksimalnya sarana prasarana dan pelayanan perpustakaan sekolah sebagai pusat pengembangan dan kemampuan membaca siswa.
Hasil kajian lainnya yang dilakukan oleh Amriani Amir, yang meneliti faktor-faktor penyebab rendahnya minat baca siswa di daerah Terpencil, Terdepan, dan Tertinggal, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rendahnya minat baca siswa di daerah 3T terutama di Kalimantan Barat karena beberapa faktor utama yaitu keterbatasan akses buku bacaan khususnya buku pelajaran sekolah, kurangnya motivasi karena umumnya orang tua berpendidikan rendah dan kurangnya waktu yang tersedia untuk membaca di rumah karena harus bekerja sambilan membantu perekonomian keluarga.
Pustaka Kampung Impian: Menyalakan Literasi di Ujung Barat Nusantara
Baru saja lihat akun Instagram-nya Ammy, Pustaka Kampung Impian baru saja mendapatkan penghargaan sebagai Taman Baca Masyarakat Terkreatif oleh Bunda Literasi Provinsi Aceh. Pada tahun 2020 lalu Pustaka Kampung Impian juga mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards.
Semoga Pustaka Kampung Impian bisa menebar jala yang lebih luas lagi untuk mencerdaskan anak bangsa, terus menjamah daerah-daerah terpencil yang minim akses pendidikan dan literasi.
Semangat Ammy, Semangat Para Relawan 3R!
Sumber:
0 comments
Silakan Berikan Komentar, Saran, dan Kritik Untuk Postingan Ini, yang sopan ya ^^ dan please jangan spam